Antara Ketenangan Jiwa, Kedamaian Hati, dan Sebuah Kebenaran (4-habis)

Oleh Ustadzuna Arief Budiman bin Utsman Rozali, Lc.

Hendaknya seorang mukmin menyibukkan dirinya untuk meraih kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwanya dengan melakukan shalat yang khusyu’. Dengan demikian, ia merasa tenang ketika berhadapan dengan Rabbnya. Hatinya menjadi tenteram, lalu diikuti ketenangan dan ketenteraman tersebut oleh seluruh anggota tubuhnya. Dari sini, ia akan merasakan kedamaian hati dan jiwa yang luar biasa. Ia memuji Rabbnya dengan segala macam pujian di dalam shalatnya. Bahkan, ia berkata kepada Rabbnya (إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ), “Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”. Ia pun memohon kepada Rabbnya segala kebutuhannya, dan yang terpenting dari seluruh kebutuhannya adalah memohon untuk istiqamah (konsisten) di atas jalan yang lurus, yang dengannya terwujudlah kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ia pun berkata (اِهْدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ), “Tunjukilah kami jalan yang lurus”. Ia mengagungkan Rabbnya di dalam ruku’nya dan sujudnya. Ia memperbanyak doa di dalam sujudnya.

Sungguh betapa indah dan agungnya komunikasi yang ia lakukan dengan Rabbnya. Sebuah komunikasi luar biasa yang mampu menimbulkan ketenteraman dan kedamaian jiwa, sekaligus menjauhi dirinya dari segala macam kegelisahan, keresahan, dan kesempitan hati dan jiwanya. Maka, tidak perlu heran jika shalat ini merupakan penghibur dan penghias hati Rasulullah . Beliau bersabda:

(( وَجُعِلَتْ قُـرَّةُ عَـيْـنِيْ فِي الصَّـلاَةِ)).

“…dan telah dijadikan penghibur/penghias hatiku (kebahagiaanku) pada shalat”.[1]

Beliau pun berkata kepada salah satu shahabatnya:

((قُمْ يَا بِلاَلُ، فَـأَرِحْـنَا بِالصَّلاَةِ)).

Bangunlah wahai Bilal, buatlah kami beristirahat dengan (melakukan) shalat”.[2]

Al Imam al ‘Allamah Ibnul Qayyim –rahimahullah-, setelah beliau menjelaskan hikmah-hikmah dan beberapa keistimewaan shalat, beliau berkata, “…Kemudian, disyariatkan baginya untuk mengulang-ulang raka’at ini satu per satu, sebagaimana disyariatkannya mengulang-ulang (lafazh) dzikir dan doa satu per satu. Hal itu adalah agar ia mempersiapkan dirinya dengan raka’at yang pertama tadi, untuk menyempurnakan raka’at yang berikutnya. Sebagaimana raka’at yang kedua untuk menyempurnakan raka’at yang pertama. Semuanya itu bertujuan untuk memenuhi hatinya dengan makanan (rohani) ini, dan mengambil bekal darinya untuk mengobati penyakit yang ada pada hatinya. Karena sesungguhnya kedudukan shalat terhadap hati, bagaikan kedudukan makanan dan obat terhadapnya… Maka, tidak ada satu hal pun yang mampu menjadi makanan dan bagi hatinya selain shalat ini. Maksudnya, (fungsi) shalat dalam menyehatkan dan menyembuhkan hati, seperti (fungsi) makanan pokok dan obat-obatan terhadap badannya.[3]

DR. Hasan bin Ahmad bin Hasan al Fakki berkata, “Tatkala shalat merupakan pembangkit ketenangan dan ketenteraman (jiwa), serta sebagai terapi psikologis. Maka, (tidak mengherankan) jika sebagian para dokter jiwa menganggapnya sebagai terapi utama dalam penyembuhan para pasien penyakit jiwa. Salah seorang di antara mereka ada yang mengatakan, “Sepertinya shalat ini salah satu terapi yang mampu mendatangkan kehangatan jiwa manusia. Sesungguhnya shalat bisa menjauhkan dirimu dari segala kesibukan yang membuatmu gundah dan resah. Shalat ini pun mampu membuatmu merasa tidak menyendiri dalam hidup ini. Mampu membuatmu merasakan bahwa Allah menyertaimu. Shalat pun ternyata mampu memberimu kekuatan dalam bekerja, yang sebelumnya dirimu tidak mampu berbuat apa-apa. Maka, pergilah ke kamar tidurmu! Lalu, mulailah melakukan shalat untuk menghadap Rabbmu!”.”[4]

Demikianlah, sehingga memang shalat yang benar dan khusyu’ pasti akan melahirkan ketenteraman jiwa dan kedamaian hati. Bukan seperti shalat yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani, yang telah disifatkan oleh Al Imam al ‘Allamah Ibnul Qayyim –rahimahullah– seperti berikut, beliau berkata, “…Maka, sebuah shalat yang pembukaannya adalah sebuah kenajisan, takbiratul ihramnya dengan bersalib di wajah, qiblatnya sebelah timur, syi’arnya adalah kesyirikan, (maka) bagaimana hal ini tersembunyi bagi orang berakal bahwa hal ini sesuatu yang memang tidak pernah dibenarkan oleh satu syariat apapun?”.[5]

DR. Hasan bin Ahmad bin Hasan al Fakki kembali menjelaskan dan berkata, “Adapun sebuah shalat yang permulaannya adalah pengagungan dan pemuliaan terhadap Allah , dan shalat ini mengandung firmanNya, pujian dan pengagungan kepadaNya, rasa tunduk yang sempurna si pelakunya kepada Rabbnya, maka tidak ragu lagi shalat seperti inilah yang mampu menjadikan perantara dalam komunikasi seorang hamba dengan Rabbnya. Shalatnya ini bermanfaat baginya untuk memohon kepada Rabbnya agar diangkat darinya segala kesulitan. Di samping itu, ia pun akan mendapatkan manfaat dan pahala yang begitu besar di akhirat, serta kemenangan dengan mendapatkan ridha ar Rahman (Allah ). Dan kiaskanlah terhadap shalat ini seluruh ketaatan hamba terhadap Rabbnya. Sungguh agama Islam adalah sebuah manhaj (metode, tata cara dan pola hidup) yang sempurna. Yang sangat adil. Menjamin setiap orang bisa mencapai hidup bahagia di dunia dan akhirat. Dan ini adalah sebuah kemenangan yang besar”.[6]

Demikianlah, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, bisa menambah iman, ilmu, dan amal shalih kita.

Wallahu a’lam bish shawab.

-Selesai-

Maraji’ & Mashadir:

  1. Al Quran dan terjemahnya, Cet. Mujamma’ Malik Fahd, Saudi Arabia.

  2. Shahih al Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin al Mughirah al Bukhari (194-256 H), tahqiq Musthafa Dib al Bugha, Daar Ibni Katsir, al Yamamah, Beirut, Cet. III, Th. 1407 H/1987 M.

  3. Shahih Muslim, Abu al Husain Muslim bin Hajjaaj al Qusyairi an Naisaburi (204-261 H), tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi, Daar Ihya at Turats, Beirut.

  4. Sunan Abi Daud, Abu Daud Sulaiman bin al Asy’ats As Sijistani (202-275 H), tahqiq Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Daar al Fikr.

  5. Sunan an Nasa-i (al Mujtaba), Abu Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib an Nasa-i (215-303 H), tahqiq Abdul Fattah Abu Ghuddah, Maktab al Mathbu’at, Halab, Cet. II, Th. 1406 H/1986M.

  6. Musnad al Imam Ahmad, Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy Syaibani (164-241 H), Mu’assasah Qurthubah, Mesir.

  7. Risalah fii al Qalbi wa annahu Khuliqa li yu’lama bihi al Haqqu wa yusta’malu fiima khuliqa lahu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H), tahqiq Salim bin ‘Id al Hilali, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1411 H/1990 M.

  8. Ighatsatul Lahfaan fi Mashayid asy Syaithan, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), takhrij Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), tahqiq Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. I, Th. 1424 H.

  9. Ad Daa’u wa ad Dawaa’ / al Jawab al Kafi liman sa-ala ‘an ad Dawaa’ asy Syafi, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), tahqiq Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. VI, Th. 1423 H.

  10. Syifa-ul ‘Alil fi masa-il al Qadha-i wa al Qadar wa al Hikmah wa at Ta’lil, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), tahqiq Khalid Abdullathif as Sab’u al Alami, Daar al Kitab al ‘Arabi, Beirut, Libanon, Cet. II, Th. 1417 H/1997 M.

  11. Al Wabil ash Shayyib, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), tahqiq Muhammad Abdurrahman ‘Awadh, Daar al Kitab al ‘Arabi, Beirut, Libanon, Cet. VI, Th. 1417 H/1996 M.

  12. Fawa-id al Fawa-id, Syamsuddin Ibnu Qayyim al Jauziyah (751 H), tartib dan takhrij Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. V, Th. 1422 H.

  13. Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsiri Kalami al Mannan, Abdurrahman bin Nashir as Sa’di, tahqiq Abdurrahman bin Mu’alla al Luwaihiq, Daar as Salam, Riyadh, KSA, Cet… I, th 1422 H/2001 M.

  14. Shahih Sunan Abi Daud, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah Al Ma’arif, Riyadh.

  15. Shahih Sunan an Nasa-i, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.

  16. Shahih al Jami’ ash Shaghir, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Al Maktab al Islami.

  17. As Silsilah as Shahihah, Muhammad Nashiruddin al Albani (1332-1420 H), Maktabah al Ma’arif, Riyadh.

  18. Al Qaul al Mufid ‘ala Kitab at Tauhid, Muhammad bin Shalih al Utsaimin (1421 H), Daar Ibn al Jauzi, Dammam, KSA, Cet. III, Th. 1419 H/1999 M.

  19. Ilmu Ushuli al Bida’, Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi al Atsari, Daar ar Rayah, Riyadh, KSA, Cet. II, Th. 1417 H.

  20. Fiqh al Ad’iyah wa al Adzkar, Prof. DR. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al Badr, Daar Ibn ‘Affan, Riyadh, KSA, Th. 1419 H.

  21. Sittu Durar min Ushuli Ahlil Atsar, Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani al Jazairi, Mathabi’ al Humaidhi, KSA, Cet. II, Th. 1420 H.

  22. Ahkam al Adwiyah Fi asy Syari’ati al Islamiyyah, DR. Hasan bin Ahmad bin Hasan Al Fakki, taqdim Syaikh DR. Muhammad bin Nashir bin Sulthan as Suhaibani, Maktabah Daar al Minhaj, Riyadh, Cet. I, th 1425 H.

Catatan kaki:

HR an Nasa-i (7/61 no. 3939-3940), Ahmad (3/128 no. 12315-12316, 3/199 no. 13079, 3/285 no. 14069), dan lain-lain dari hadits Anas . Dan hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani –rahimahullah– dalam Shahih Sunan an Nasa-i, Shahih al Jami’ (3124), dan as Silsilah ash Shahihah (3/98 dan 4/424).

2 HR Abu Dawud (4/296 no. 4986) dari hadits Abdullah bin Muhammad bin al Hanafiyah. Dan hadits ini dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani –rahimahullah– dalam Shahih Sunan abi Dawud.

3 Lihat kitab Syifa-ul ‘Alil fi masa-il al Qadha-i wa al Qadar wa al Hikmah wa at Ta’lil, hlm. 396.

4 Lihat kitab Ahkam al Adwiyah fii asy Syari’ah al Islamiyah, hlm. 549-550.

5 Lihat kitab Ighatsatul Lahfaan fi Mashayid asy Syaithan (2/1052).

6 Lihat kitab Ahkam al Adwiyah fii asy Syari’ah al Islamiyah, hlm. 550.

Artikel www.salafiyunpad.wordpress.com

Jazakallahu Khoiron Katsiro kepada Al-Ustadz Arief Budiman, Lc. atas kiriman artikelnya.

Posted on 29 Mei 2008, in aqidah islam, Nasihat. Bookmark the permalink. 9 Komentar.

  1. subhanallah………… robbana maa kholaqta hadza baathilan…. hati ina luluh oleh Nya , , , , mungkin ada yang lain , , , , saya tersentuh sekali dengan kedamaian ini , , , , , Tuhan Engkau yang akan selalu menjelma dalam sumsum tulang syahdu q , , , , untuk yang lainnya bisa di tampilkan kan ???????????

  2. subhanallah………… robbana maa kholaqta hadza baathilan…. hati ina luluh oleh Nya , , , , mungkin ada yang lain , , , , saya tersentuh sekali dengan kedamaian ini , , , , , Tuhan Engkau yang akan selalu menjelma dalam sumsum tulang syahdu q , , , ,

  3. Saat jiwa hampa, saat merasa sendiri bertemu kekasih jiwa dalam shalat adalah obatnya

  4. Makasih,
    ini salah satu konsumsi hati yang baik

  5. aku sedang bantu orang untuk menenangkan hatinya.aku berharap selalu bisa mengerti hatinya dan aku berharap bisa tenangkan hatinya……………..
    dan aku g mau melihat dia menangis.

  6. Antara Ketenangan Jiwa, Kedamaian Hati, dan Sebuah Kebenaran
    selama ini aku hanya mengkonsumsi teori-teori tentang itu semua tetapi aku tidak pernah paham dan mengerti tentang pemahaman itu dan apalagi mengaplikasikannya terhadap kehidupan…………………………………………………………………………….?
    mudah-mudahan kawan yang lain mampu berbuat beramal dengan hati yang damai…………………….. Amiiin…………………

    salam kenal
    Yakin Usaha Sampai
    mr.foumram79@gmail.com

  7. HATI….ana sering dibolak balik,kadang taat kadang…???
    Ya Alloh…genggam hati ini selalu terikat kepada janjiMU..
    syukron atas tausiyahnya…mudah-mudahan bermanfaat buat ana dengan bantuan taufiq dari-NYA

  8. His was a climb for peace. Farouk Saad Hamad Al-Zuman made a call for prayer from the summit of Mount Everest, a first to be recorded in the Islamic history of exploration and adventure. Not only this, he was the first to perform prayer

  9. 1.bagaimana utk mencapai khusyuk dlm sholat dan menghilangkan riya’

Tinggalkan komentar